1. Perjanjian Sewa – Menyewa.
Bahwa setelah Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mulai berlaku, maka Buku ke-II KUH Perdata, yang berkaitan dengan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dinyatakan tidak berlaku lagi, kecuali mengenai Hipotik yang masih berlaku (Setelah Undang-Undang Hak Tanggungan Tahun 1996 berlaku, maka ketentuan tentang hipotik tersebut tidak berlaku lagi).
Bahwa diktum ke-4 dari keputusan pemberlakuaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berbunyi sebagai berikut:
Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini;
Bahwa berdasarkan dictum ke-4 dari keputusan perberlakuaan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tersebut, dengan tegas menyatakan bahwa mencabut dan tidak berlaku lagi Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sehingga dalam membuat perjanjian sewa-menyewa tanah, tidak ada salahnya bila berpedoman pada ketentuan Buku ke-III KUH Perdata, yang tidak dicabut dan tidak dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Bahwa pengertian sewa-menyewa dapat dilihat pada Pasal 1548 KUH Perdata, yang memberi pengerian tentang Sewa-Menyewa, sebagai berikut:
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.
Bahwa berdasarkan pengertian sewa-sewa menyewa yang ditetapkan Pasal 1548 KUH Perdata, maka dalam perjanjian sewa-menyewa tanah / bangunan, pada hakikatnya yang diserahkan kepada pihak penyewa, bukanlah tanah, melainkan kenikmatan atas tanah yang disewakan, dan pihak penyewa wajib membayar kenikmatan atas tanah, tersebut sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa yang telah disepakati.
Bahwa sesuai ketentuan 1560 KUH Perdata, penyewa mempunyai 2 (dua) kewajiban utama yang harus ditepati, yaitu:
- Memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan;
- Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka pihak penyewa tanah milik perusahaan pengelola kawasan industri (industrial estate), wajib memelihara tanah yang disewanya tersebut, dan menggunakan tanah sesuai peruntukannya yang disetujui dalam perjanjian sewa- menyewa, serta wajib membayar harga sewa tepat pada waktunya, sesuai ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian sewa-menyewa tanah.
Bahwa yang perlu dicermati oleh perusahaan pengelola kawasan industri dalam menyusun draft perjanjian sewa-menyewa tanah, adalah ketentuan Pasal 1552 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:
Pihak yang menyewakan harus menanggung penyewa terhadap semua cacat barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, meskipun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuat persetujuan sewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan suatu kerugian bagi penyewa, maka pihak yang menyewakan wajib memberikan ganti rugi
Bahwa tak jarang pula penyewa yang beritikad buruk, menggunakan ketentuan Pasal 1552 KUH Perdata untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap kerusakan tanah (tanah yang telah dikeraskan dengan lapisan aspal atau beton/plat beton, yang umumnya digunakan sebagai depo knotainer atau tempat penimbunan barang) yang disewanya, dengan berdalih bahwa kerusakan tanah yang disewanya tersebut, merupakan cacat yang tersembunyi, yang merupakan tanggung jawab dari perusahaan pengelola kawasan industri yang bersangkutan.
Padahal kerusakan itu terjadi, karena penyewa telah menggunakan tanah yang disewanya, tidak sesuai dengan peruntukan menurut perjanjian sewa-menyewa. Misalnya, pada perjanjian sewa-menyewa depo container kosong, tetapi penyewa menumpuk container isi pada tanah yang digunakan sebagai depo yang disewanya, sehingga menyebabkan lantai depo mengalami kerusakan. Bahwa untuk melepaskan tanggung jawabnya, penyewa beralasan, bahwa kerusakan terjadi karena cacat yang tersembunyi pada lantai depo tersebut.
Bahwa pasal 1564 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut:
Penyewa bertanggung jawab atas segala kerusakan yang ditimbulkan pada barang yang disewakan selama waktu sewa, kecuali jika ia membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya.
Bahwa untuk menghindari tanggung jawab sebagaimana dimaksud paxda Pasal 1564 KUH Perdata tersebut, penyewa berdalih, bahwa kerusakan itu terjadi diluar kesalahannya, melainkan karena cacat yang tersembunyi. Padahal kerusakan itu, jelas terjadi karena penyewa mengunakan tanah tidak sesuai peruntukannya yang ditentukan dalam perjanjian sewa menyewa.
Bahwa berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka penyusunan draft perjanjian sewa menyewa tanah dan/atau bangunan, harus dilakukan secermat mungkin. Bahwa syarat-syarat dan ketentuan yang akan dituangkan dalam draft perjannjian tersebut, harus mampu mengantisipasi dan mengatasi segala kemungkinan yang akan dihadapi, misalnya apabila rekan bisnis/investor melaksanakan perjanjian dengan itikad buruk yang merugikan perusahaan pengelola kawasan industri.
2. Penyewa Melakukan Wan Prestasi/ Cidera Janji dan Melakukan Upaya Hukum Untuk Menjutupi Wan Prestasi/ Cidera Janji yang Dilakukannya.
Bahwa yang dimaksudkan wanprestasi/cidera janji (breach of contract) adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi/Cidera janji untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi/ cidera janji.
Bahwa yang dimaksudkan wanprestasi/ cidera janji (breach of contract) yang dilakukan oleh penyewa, adalah adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajibannya sebagaimana mestinya yang telah ditentukan dalam perjanjian sewa-menyewa yang pernah disepakatinya bersama pihak pemilik barang yang disewakan.
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan, bahwa sesuai ketentuan 1560 KUH Perdata, penyewa mempunyai 2 (dua) kewajiban utama yang harus ditepati, yaitu:
- Memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan;
- Membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan.
Bahwa cidera janji/ wan prestasi dalam perjanjian sewa-menyewa tanah milik/dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri, yang sering dilakukan oleh penyewa, adalah cidera janji/wan prestasi yang berkaitan dengan pembayaran uang sewa, dan penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan peruntukannya sesuai yang telah ditentukan dalam perjanjian sewa tanah, yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak.
Bahwa cidera janji/ wan prestasi yang berkaitan dengan pembayaran uang sewa, biasanya dilakukan oleh penyewa dengan cara menunggak pembayaran, dan setelah uang sewa yang tertunggak semakin besar, akhirnya menjadi beban yang berat yang dipikul oleh penyewa, sehingga penyewa berhenti membayar uang sewa, sementara tetap menikmati tanah yang bersangkutan dan digunakan untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Sementara cidera janji/ wan prestasi yang berkaitan dengan penggunaan tanah dan/atau bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, biasanya menyebabkan kerusakan pada tanah dan/atau bangunan, sementara penyewa tidak mau bertanggung jawab terhadap kerusakan tersebut, dan berdalih bahwa kerusakan timbul karena cacat bawaan/cacat tersembunyi, sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Bahwa menghadapi penyewa yang berprilaku demikian, maka untuk menghindari kerugian yang semakin besar, maka biasanya perusahaan/pengelola kawasan industri membatalkan perjanjian sewa-menyewa tersebut, secara sepihak. Bahwa pembatalan perjanjian secara sepihak apabila penyewa melakukan cidera janji/ wan prestasi, selalu disepakati dan diatur dalam perjanjian sewa-menyewa yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian lainnya, pada umumnya memuat klausula, yang menyatakan, bahwa kedua belah pihak sepakat untuk mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata. Bahwa oleh karena adanya klausula tersebut, maka para pihak dapat memutuskan perjanjian tanpa melalui gugatan di pengadilan, yang jelas akan menyita waktu, tenaga dan biaya yang besar.
Bahwa pasal 1266 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.
Bahwa setelah perjanjian sewa-menyewa tanah dan atau bangunan dibatalkan, maka sesuai ketentuan yang telah diseppakati dalam perjanjian sewa-menyewa yang bersangkutan, penyewa wajib segera mengosongkan tanah dan atau bangunan yang disewanya tersebut. Namun tak jarang, penyewa yang bersangkjutan tidak akan mau meninggalkan tanah dan/atau bangunan tersebut, apabila penyewa masih tetap memperoleh keuntungan dari pemanfaatan tanah yang bersangkutan.
Bahwa supaya penyewa yang beritikad buruk tersebut tetap menguasai tanah tanpa membayar sewa, maka penyewa yang beritikad buruk tersebut melakukan upaya hokum, yaitu menggugat perusahaan kawasan industri, untuk menuntut ganti rugi, dengan dalih bahwa penyewa menderita kerugian karena perusahaan kawasan industri telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu memutuskan perjanjian sewa-menyewa dan pengerasan tanah yang disewanya mengandung cacat tersembunyi, sehingga penyewa mengklaim menderita kerugian.
Bahwa upaya hokum berupa gugatan ke pengadilan yang dilakukan oleh penyewa yang beritikad buruk, pada hakikatnya hanya akal-akalan untuk menutupi wan prestasi/cidera janji yang dilakukannya. Tetapi jelas menimbulan kerugian yang besar bagi perusahaan kawasan industri. Oleh karena proses hukum yang lama sampai bertahun-tahun, dan selama itu pula, penyewa yang bersangkutan menguasai tanah tanpa membayar sewa sama sekali kepada perusahaan kawasan industri.
Bahkan menurut pengalaman kami, tidak jarang pula, ada penyewa yang beritikad buruk, yang punya kemampuan mempergunakan aparatur hokum, sehingga bisa memenangkan gugatannya, dan pengadilan menghukum perusahaan kawasan industri, untuk membayar ganti rugi yang sangat besar kepada penyewa. Padahal penyewa tersebut jelas-jelas melakukan cidera janji/wan prestasi, karena tidak membayar sewa.
Bahwa meskipun hal tersebut sama sekali di luar nalar yang sehat, tetapi kenyataannya, memang terdapat kejadian yang demikian yang pernah kami alami dalam perjanjian sewa-menyewa depo container. Bahkan setelah diputus ditingkat kasasi, dimana putusan kasasi menganulir putusan pengadilan yang memenangkan penyewa beritikad buruk tersebut, penyewa yang beritikad buruk masih tetap menguasai dan menggunakan depo container, dengan cara menghambat eksekusi putusan kasasi, dengan melakukan upaya hokum permohonan Peninjauan Kembali.
Bahwa untuk mencegah hal-hal yang kami kemukakan di atas, maka kami tekankan lagi, bahwa penyusunan syarat-syarat dan ketentuan, yang akan dituangkan ke dalam draft perjanjian sewa-menyewa tanah. Sehingga memang dibutuhkan ahli yang bukan saja di bidang hukum bisnis, tapi juga ahli dalam manajemen pengelolaan kawasan industry. Tanpa itu, maka perusahaan kawasan industri akan banyak mengalami kerugian, karena perilaku investor yang nakal.
3. Penerapan Sanksi Untuk Memaksa Penyewa Tidak Melakukan Cidera Janji/ Wan Prestasi.
Bahwa dalam Perjanjian Sewa-Menyewa Tanah di dalam kawasan industry, biasanya ditetapkan sanksi bagi penyewa tanah yang melakukan wan prestasi/cidera janji, terutama pelanggaran terhadap kewajiban utama penyewa, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1560 KUH Perdata. Bahwa sanksi tersebut terdiri dari berbagai macam, mulai dari peringatan tertulis, sampai penerapan sanksi yang lebih tegas.
Bahwa dalam perjanjian sewa- menyewa tanah di dalam kawasan industri, biasanya disepakati tentang sanksi terhadap penyewa yang melakukan wan prestasi/cidera janji, sebagai berikut :
a. Apabila penyewa tidak melaksanakan kewajiban dalam perjanjian dan /atau tidak mematuhi larangan dalam perjanjian ini, maka perusahaan kawasan industri akan memberikan Surat Peringatan Pertama.
b. Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah dikeluarkan surat peringatan pertama tersebut penyewa tidak melaksanakan kewajibannya dan/atau tidak mematuhi larangan dalam perjanjian ini , maka perusahaan kawasan industri akan mengeluarkan Surat Peringatan Kedua.
c. Bahwa bersamaan dengan dikeluarkannya Surat Peringatan Kedua, perusahaan kawasan industri memutuskan sambangunan listrik dan suplay air bersih kepada penyewa.
d. Apabila penyewa tetap tidak melaksanakan kewajiban dan/atau tidak mematuhi larangan dalam perjanjian ini dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak dikeluarkan Surat Peringatan Kedua maka perusahaan kawasan industri berhak untuk memutuskan perjanjian ini secara sepihak.tanpa melalui putusan pengadilan.
e. Segala kerugian akibat pembatalan oleh perusahaan kawasan industri menjadi beban dan tanggung jawab penyewa.
Bahwa penyewa yang berperilaku buruk, biasanya tidak akan menggubris penerapan sanksi seperti yang telah dikemukakan, apalagi bila jumlah uang sewa yang tertunggak sangat besar, sementara penyewa yang bersangkutan masih menginginkan untuk memanfaatkan tanah disewanya untuk melanjutkan kegiatan bisnisnya, yang biasanya sangat menguntungkan.
Bahwa sanksi berupa surat peringatan dari perusahaan kawasan industri, pasti akan diabaikan dan dianggap angin lalu. Sanksi berupa pemutusan aliran listrik dan penghentian suplay air, akan diatasi dengan penyambungan kembali aliran listrik, dan memperoleh suplay air dari sumber lain. Sehingga berbagai sanksi tersebut, tidak efektif bagi penyewa berprilaku buruk.
Bahwa ketika berbagai macam sanksi tersebut telah dijatuhkan oleh perusahaan kawasan industry, sementara penyewa yang beritikad buruk sama sekali tidak menggubris sanksi-sanksi yang telah dijatuhkan tersebut, pada umumnya ,perusahaan kawasan industri melakukan pembatalan/pemutusan perjanjian secara sepihak, tanpa melalui putusan pengadilan. Karena hak perusahaan kawasan industri melakukan pembatalan/pemutusan perjanjian secara sepihak, tanpa melalui putusan pengadilan telah disetujui oleh penyewa dalam perjanjian sewa-menyewa yang bersangkutan.
Bahwa ketika perusahaan kawasan industri melakukan pembatalan/pemutusan perjanjian secara sepihak, maka penyewa yang nakal tersebut menggugat perusahaan kawasan industri di pengadilan. Proses di pengadilan yang menyita waktu, menguras tenaga dan dana, jelas sangat merugikan perusahaan kawasan indstri. Oleh karena penyewa tetap menguasai tanah tanpa membayar sewa kepada perusahaan kawasan industri.
Bahwa perusahaan kawasan industri, akan semakin menderita kerugian, apabila penyewa nakal tersebut mempunyai kemampuan memperalat aparat hukum, sehingga berhasil memenangkan gugatannya, di mana tergugata perusahaan kawasan industri dihukum oleh pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada penyewa dalam jumlah yang sangat besar. Hal tersebut, telah uraikan di atas.
Bahwa untuk mencegah penyewa nakal semakin leluasa melakukan aksinya menguasai tanah dan/atau bangunan milik perusahaan kawasan industri, maka sebaiknya dalam perjanjian sewa-menyewa diatur pula sanksi berupa penutupan akses jalan terhadap lokasi tanah dan/atau bangunan yang disewa, sehingga penyewa nakal tersebut ,tidak dapat lagi menggunakan tanah dan/atau bangunan tanpa membayar sewa. Bahwa kesepakatan yang tegas tentang penutupan akses jalan, merupakan upaya yang paling tepat untuk menghadapi penyewa yang nakal tersebut.
4. Pengaturan Hak Retensi dalam Perjanjian Sewa- menyewa.
Bahwa dalam pengalaman kami sebagai konsultan hukum/pengacara perusahaan kawasan industri, selain menghadapi penyewa nakal, yang menunggak bahkan menghentikan sama sekali pembayaran sewa, tetapi tetap menguasai tanah untuk kegiatan bisnisnya, sebagaima telah dikemukakan di atas, terdapat juga penyewa yang menunggak pembayaran sewa, kemudian meninggalkan tanah yang disewanya.
Bahwa penyewa yang demikian, biasanya kalau prospek usahanya kurang menguntungkan, sehingga penyewa tersebut meninggalkan perusahaannya begitu saja, dengan meninggalkan pula tunggakan pembayaran sewa tanah. Pada saat orang yang dikuasakan oleh penyewa tersebut datang untuk barang-barang milik penyewa, yang biasanya berupa mesin-mesin dan barang- barang lain yang bernilai, tak jarang perusahaan kawasan industri menahan barang-barang tersebut, dengan alasan, bahwa pemilik barang mempunyai utang sewa yang belum dibayar.
Bahwa sebenarnya, tindakan perusahaan kawasan industri tersebut, bahkan menyerempet perbuatan pidana, sehingga apabila pemilik barang melaporkannya kepada pihak berwajib, kemungkinan menjadi tersangka besar sekali. Oleh sebab itu, perlu dilakukan antisipasi dengan menambahkan klausula hak retensi bagi perusahaan kawasan industri, yang diatur dalam perjanjian sewa- menyewa.
Sedangkan mengenai hak retensi (retentie), J. Satrio, menjelaskan bahwa hak retensi adalah hak yang diberikan kepada kreditur tertentu, untuk menahan benda debitur, sampai tagihan yang berhubungan dengan benda tersebut dilunasi, sebagaimana terdapat dalam Pasal 575 ayat (2), Pasal 1576, Pasal 1364 ayat (2), Pasal 1616, Pasal 1729, dan Pasal 1812 KUH Perdata.
Bahwa pengaturan Hak Retensi dalam perjanjian sewa-menyewa tanah, dapat dimasukkan klausula sebagai berikut:
-
- PIHAK PERTAMA/ perusahaan kawasan industri memiliki Hak Retensi terhadap barang-barang milik PIHAK KEDUA/ penyewa yang terletak/disimpan di atas tanah dan/atau dalam bangunan yang dibangun di atas tanah yang disewa, maupun di lokasi sekitarnya, sebagai jaminan terhadap pelunasan kewajiban PIHAK KEDUA/ penyewa kepada PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industri.
- Hak retensi tersebut pada ayat (1) Pasal ini, juga dapat diberlakukan sebagai jaminan terhadap pelunasan kewajiban PIHAK KEDUA/penyewa kepada Pihak lain yang mempunyai hak/tagihan kepada PIHAK KEDUA/penyewa, yang terpaksa ditalangi oleh PIHAK PERTAMA/ perusahaan kawasan industri untuk mencegah timbulnya kerugian yang mungkin akan diderita loleh PIHAK PEFRTAMA/perusahaan kawasan industri.
Bahwa pengaturan hak retensi dalam perjanjian sewa-menyewa tanah dan atau bangunan milik/ dikelola oleh perusahaan kawasan industri, diharapkan dapat mengurangi kerugian yang menimpa perusahaan kawasan industri, karena penyewa menunggak/ tidak membayar sewa, lalu meninggalkan tanah yang disewanya dengan begitu saja.
5. Masalah Pengosongan/ pengambilalihan tanah dan/ atau bangunan dari penyewa yang penyewa yang melakukan cidera janji/ wan prestasi.
Bahwa masalah yang timbul setelah perjanjian sewa-menyewa diputuskan secara sepihak oleh perusahaan kawasan industry, akibat wan prestasi/cidera janji yang dilakukan oleh penyewa, adalah menyangkut pengosongan/ pengambilalihan tanah yang disewakan tersebut. Bila kurang hati-hati dalam hal tersebut, bisa menimbulkan masalah serius bagi perusahaan kawasan industri.
Bahwa perusahaan kawasan industri, apabila kurang hati-hati melakukan tehadap pengosongan tanah yang disewakan tersebut, maka tak jarang pimpinan perusahaan yang bersangkutan, dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Adakalanya, laporan dari penyewa yang telah melakukan wan prestasi/cidera janji, ditanggapi oleh penegak hukum, dan menetapkan pimpinan perusahaan kawasan industry menjadi tersangka.
Bahwa dalam perjanjian sewa-menyewa tanah dan/atau bangunan, sering disetujui oleh kedua belah pihak, ketentuan sebagai berikut :
- Apabila Perjanjian Sewa-Menyewa ini berakhir baik karena jangka waktunya telah habis, maupun berakhir karena diputuskan oleh salah satu pihak maka penyewa wajib mengosongkan dan menyerahkan kembali tanah yang yang telah disewa, dalam keadaan kosong seperti keadaan semula kepada PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industri dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah dikeluarkannya permintaan/pemberitahuan secara tertulis oleh PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industry untuk pengosongan dan penyerahan tersebut.
- Apabila penyewa lalai untuk mengosongkan dan menyerahkan tanah kepada PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industri dalam jangka waktu yang ditentukan dalam ayat (1) di atas, maka penyewa dengan ini memberi kuasa penuh, kepada PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industri untuk melakukan pengosongan atas inisiatifnya sendiri atas biaya yang menjadi tanggung jawab penyewa dan menyingkirkan barang-barang yang ada di atas tanah membongkar bangunan yang dibangun di atas tanah tersebut, dan penyewa dengan ini sepakat untuk tidak mengajukan tuntutan dan/atau keberatan-keberatan yang mungkin dapat diajukan terhadap penyewa berkenaan dengan penyingkiran barang-barang dan pembongkaran bangunan yang ada pada tanah tersebut.
- Kuasa yang diberikan kepada PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industri tidak dapat ditarik kembali yang diberikan kepada PIHAK PERTAMA/perusahaan kawasan industri untuk melakukan pengosongan tanah, sebagaimana yang disebutkan pada ayat (2) Pasal ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini, sehingga apabila kuasa itu tidak ada, maka perjanjian ini tidak akan pernah disepakati oleh PARA PIHAK dan tidak memerlukan lagi Surat Kuasa Khusus dalam melakukan perbuatannya.
Bahwa perjanjian sewa menyewa yang memuat ketentuan-ketentuan tersebut, sering menjadi motivasi perusahaan kawasan industri untuk melakukan pengososngan tanah dari penguasaan penyewa yang nakal, tanpa melibatkan aparat pemerintah yang berwenang. Akibatnya, pimpinan perusahaan kawasan industri yang bersangkutan, sering terkuras tenaganya karena harus memenuhi panggilan dari pihak kepolisian, yang bahkan bisa menyebabkan pimpinan perusahaan tersebut menjadi tersangka.
Bahwa juntuk mengantisipasi hal tersebut, meskipun telah diatur dan disetujui dalam perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak tentang cara pengosongan sebagaimana disebutkan di atas, maka seharusnya, pengosongan tanah tetap berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa sebenarnya, pengosongan tanah dari penguasaan pihak yang tidak berhak, telah ada aturannya, meskipun tanpa melalui proses peradilan yang berlarut-larut dan menguras tenaga dan biaya yang besar. Mekanismenya telah diatur dalam Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960.
Bahwa Undang-Undang No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, juga mengatur mekanisme pengosongan tanah dari penguasaan pihak yang tidak berhak. Bahwa Pasal 3 Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, berbunyi sebagai berikut:
(1) Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan-hutan tanpa ijin yaog berhak atau kuasanya yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.
(2) Penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Bahwa Pasal 4 Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 3, maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang menerima hak daripadanya.
(2) Jika setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan di dalam perintah pengosongan tersebut pada ayat (1) pasal ini perintah Itu belum dipenuhi oleh yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau penjabat yang diberi Perintah olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri.
Bahwa yang dimaksud dengan Penguasa Daerah dalam Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, adalah Kepala Daerah, yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota. Bahwa Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, sampai sekarang masih berlaku, dan banyak diadopsi oleh Pemerintah Daerah dan mengaturnya kembali dalam bentuk Peraturan Daerah.
Bahwa ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya, bersama Peraturan Daerah yang diterbitkan berdasarka Undang-Undang tersebut, menjadi dasar hokum bagi Kepala Daerah (Gubernur DKI Jakarta, Bupati atau Walikota) melalui Satuan Polisi Pamong Praja, melakukan penertiban dan pembongkaran bangunan-bangunan yang didirikan tanpa izin dari yang berhak atau kuasanya.
Bahwa yang menjadi pertanyaan, adalah: Apakah bangunan yang didirikan diatas tanah Hak Pengelolaan/HPL berdasarkan perjanjian sewa-menyewa tanah, dapat dibongkar tanpa melalui proses pengadilan, apabial penyewa melakukan wan prestasi/cidera janji?
Bahwa penyewa yang melakukan cidera janji, kemudian yang berhak atas tanah tersebut, atau kuasanya memutuskan perjanjian secara sepihak sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian sewa- menyewa tanah, yang telah ditandandatangani oleh kedua belah pihak, maka sejak pemutusan perjanjian tersebut, penyewa tidak diizinkan lagi menggunakan tanah yang bersangkutan. Sehingga mekanisme pengosongan tanah dapat dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
Berdasarkan hal-hal yang kami paparkan di atas, maka alangkah baiknya kalau Perusahaan BUMN pemegang Hak Pengelolaan/HPL terutama Perusahaan Kawasan Industri, mendorong seluruh Pemerintah Daerah, untuk menerbitkan Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur/ Peraturan Bupati/Peraturan Walikota, sebagai pperaturan pelaksanaan dari UU No.51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.